Kurikulum Amburadul dan opsi solusi

Sebelum memulai, mari kita baca essay yang ada di bawah ini :

  1. Apakah judul diatas terlalu berlebihan? Penulis akan menjawab tidak.
  2. Apakah tulisan ini hanya pandangan pribadi? Penulis akan kembali menjawab tidak.
  3. Apakah ini hanya perjalanan dari proses pendidikan di Indonesia untuk maju? Penulis akan menjawab tidak juga.
  4. Apakah ini tugas dan tanggung jawab dari Menteri Pendidikan dan guru-guru di Indonesia? Penulis dengan tegas menjawab bahwa tugas ini adalah tugas seluruh rakyat Indonesia yang dikoordinir oleh menteri pendidikan dengan penanggung jawab utama Bapak Presiden dan dipayungi oleh undang-undang yang kuat serta pengawasan yang ketat oleh lembaga tinggi negara.
  5. Apakah mengganti kurikulum adalah sebuah solusi? Penulis akan menjawab bisa iya bisa tidak.
  6. Apakah Ujian Nasional saat ini harus hapuskan? Penulis akan menjawab harus tetap ada tolak ukur pemerataan pendidikan di Indonesia.
  7. Apakah Kurikulum sekarang ini sudah sesuai dengan perkembangan zaman? Penulis akan menjawab terlalu prematur untuk menjawabnya.
  8. Apakah benar kurikulum sekarang membuat Orang tua dan anak semakin stress? Penulis akan menjawab tidak juga, tapi pada kenyataannya banyak orang tua yang mengeluh demikian.

Tentunya sebagai penulis dan bagian dari Rakyat Indonesia, penulis akan mencoba menawarkan beberapa solusi, bukan hanya mengeluh dan mencari kambing hitam yang jelas bukan merupakan jalan keluar dari sebuah masalah.  Tapi sebelum itu penulis akan mencoba untuk menjabarkan secara detail jawaban essay pada paragraf pertama. Setelah itu penulis akan mencoba untuk merangkum manjadi satu kesatuan solusi.

Pertanyaan pertama mengenai apakah judul ini terlalu berlebihan jelas tidak tepat, kenapa? Jika mau jujur kurikulum  pendidikan kita seolah-olah hanya berputar didalam sebuah lingkaran, berubah nama dan metode, berubah lagi dan seterusnya tanpa ada satu barometer yang pasti. Sebut saja dari tahun 1947 kurikulum pertama lahir, yaitu Rentjana Pelajaran 1947, lalu diikuti oleh Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 yang dikenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan sistem LKS (Lembar Kerja Siswa), pada sistem CBSA ini sebenarnya Posisi siswa sudah mulai ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Sebuah semangat yang sama dengan Kurikulum 2013 saat ini bukan? tetapi setelah itu diganti dengan Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, murid-murid mulai menjadi Objek kurikulum. Sampai sini kurikulum kita berputar kembali bagai berjalan pada sebuah lingkaran. Ganti lagi ke Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut, menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Kegiatan belajar menggunakan pendekatan dan metode bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Walaupun di satu sisi kurikulum kita bergerak maju akan tetapi tetap kembali kelingkaran karena kembali siswa menjadi objek. Selanjutnya adalah Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), disini kita mulai mengacu pada jiwa dari desentralisasi  sistem pendidikan. Artinya Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan  daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Akhirnya sekarang kita mengenal Kurikulum 2013, adapun yang menjadi fondasinya adalah tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap serta perilaku. Materi pun dirampingkan  menjadi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn dan lainnya,sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika. Kembali lagi kita berjalan kesebuah lingkaran. Kurikulum 2013 atau yang dikenal sebagai K13 pun masih menjadi dilema pada awalnya, karena banyak pelaku pendidikan masih harus beradaptasi dari KTSP ke K13. Nah terhitung sudah 11 kurikulum kita coba. Boleh dikatakan kalau kita hanya berputar-putar ditempat.  Hal ini membuat prasangka masyarakat seperti :

  1. Ganti presiden ganti kurikulum.
  2. Ganti menteri ganti kurikulum.
  3. Pergantian kurikulum hanyalah akal-akalan mafia pendidikan.
  4. Setiap pergantian kurikulum maka akan ada pergantian buku.

K13 yang digadang-gadang mengurangi buku belajar anak malah kembali ke Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 yang terlalu membebani anak. Jika kita lihat dari kompisisi buku K13 untuk SD  sangat menarik, memadukan semua unsur pelajaran dalam bentuk tema, akan tetapi penerapan di sekolah-sekolah berbeda. Di sekolah-sekolah sekitar penulis mengajar ada sekolah yang murid-muridnya tidak terbebani dengan k13, tapi di satu sisi banyak juga sekolah yang murid-muridnya jadi membawa banyak buku, bahkan sampai membawa tas koper. Bahkan penulis sebagai pengajar di suatu lembaga bimbingan belajar sering mendapati anak-anak yang menangis karena terlalu stress menghadapi pelajaran, ada murid yang tertidur karena terlalu lelah dan sebagainya. Akan tetapi tidak semua sekolah, ada juga murid-murid yang tidak terbebani. Hal terbaik mungkin dalam meniadakan rangking di sekolah. Tapi pada prakteknya banyak sekolah yang menerapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) berbagai pelajaran yang tinggi, sebut saja di satu sekolah ada yang  menerapkan KKM untuk pelajaran Matematika adalah 8, di sekolah yang lain dengan mata pelajaran matematika juga nilai KKM nya 7, ada juga yang 6. Mungkin pembaca banyak menghadapi hal yang sama atau bahkan hal yang berbeda juga. Hal ini  ditambah lagi dengan penerapan soal HOTS (Higher Order Thingking Skill), bahkan ada guru SMP yang menjelaskan  Logaritma ke muridnya agar bisa meyelesaikan sebuah soal HOTS, padahal di SMA nanti mereka cukup mengetahui rumus dan bisa mengerjakan soal tersebut dan masih banyak contoh penerapan di lapangan yang keluar dari maksud K13. Jelas Pemerintah melalui Dinas Pendidikan harus memperbanyak S.O.P dalam pembelajaran, standar diperlukan sehingga seorang guru bisa berkreatifitas dalam mengajar tanpa keluar dari tujuan kurikulum. S.O.P bukan membatasi imajinasi guru, akan tetapi memberikan kompas dalam mengajar.

Pertanyaannya?

Jika ingin membuat murid menjadi aktif apakah perlu buku pelajaran  KTSP diganti ke K13? Mungkin penjabaran pada  paragraf ini telah mewakili pertanyaan kedua pada paragraf pertama. Pertanyaan ke tiga pun telah penulis jabarkan  bahwa perubahan kurikulum di Indonesia hanya berputar dilingkaran dan tidak bergerak maju.

Kenapa penulis menjabarkan pengalaman sebagai guru Bimbingan Belajar (Bimbel) yang notabene bukan pengajar di sekolah formal?  Bimbingan Belajar sejatinya adalah pendamping sekolah formal dan dilindungi oleh undang-undang, tugas utama mereka bukan bersaing dengan sekolah formal,  bahkan tugas mereka adalah membantu sekolah formal dalam menjalankan kurikulum. Bahkan Lembaga Bimbingan belajar adalah bukti nyata kepedulian masyarakat Indonesia akan pendidikan nasional. Bagaimana tidak, apapun kurikulumnya Bimbel dan guru les privat akan tetap mengiringi dengan segenap kemampuannya. Mencari Bimbel atau guru privat yang berkualitas memang perlu, tetapi apabila sekolah formal menganggap bimbel sebagai pengganggu bahkan yang menyebabkan jam belajar anak bertambah banyak akan sangat menyedihkan.  Sudah seharusnya sekolah formal menggandeng Bimbel-bimbel di sekitar wilayahnya untuk bahu membahu dan berjuang bersama. Bimbel memang sebuah bisnis, apakah sekolah swasta bukan sebuah bisnis? Apakah Full day school jadi solusi? apakah anak-anak diharuskan belajar seperti seorang pekerja? apakah anak tidak perlu pergantian suasana dalam belajar? apalagi di pusaran kurikulum saat ini, Bimbel dan guru privat adalah konsultan yang tepat bagi  orang tua bahkan juga bagi pemerintah. Bagaimana dengan Home schooling? Home schooling adalah hak orang tua beserta anak.  Bahkan Home Schooling bisa dijadikan sebuah solusi pendidikan di Indonesia. Hal yang ingin penulis tekankan dalam paragraf ini adalah sudah seharusnya pemerintah melibatkan lembaga pendidikan non formal dalam hal kurikulum, karena biar bagaimana pun Sekolah Non Formal akan lebih peka dalam mengetahui apakah sebuah kurikulum sudah sesuai dengan kebutuhan zaman.  Sekolah atau Lembaga non formal lebih sering menghadapi anak dengan suasana santai dan gembira, hal ini sesuai dengan  pendapat banyak pakar pendidikan di dunia yang mengatakan bahwa “Pendidikan harus dilakukan dalam keadaan menyenangkan”.

 

belajar-efektif2
Hal ini akan membuat anak lebih terbuka dan bisa menjadi masukan bagi sekolah formal seperti Pemerintah. Bapak Nadiem selaku menteri Pendidikan pernah berkata bahwa beliau bukan hanya menteri sekolah negeri, apakah Bapak juga Menteri untuk sekolah Non Formal? jika tidak maka sebaiknya Pak Jokowi membuka lowongan baru untuk menteri pendidikan non formal,  atau apa sebaiknya sekolah non formal terutama Bimbel di hapuskan saja? Bagaimana dengan Bimbel Online? Bimbel Online memang menjadi solusi anak yang sesuai dengan era saat ini, Bimbel Online membuat guru menjadi kreatif, akan tetapi keterikatan guru dan murid tidak akan mudah digantikan oleh sebuah aplikasi. Sekali lagi Pemerintah tetap harus merangkul kesemua  elemen ini, baik online maupun offline. Mereka tidak pernah mengharapkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah), mereka
berusaha sendiri dan bertahan, sudah seharusnya pemerintah menyuburkan sekolah non formal dan guru-guru privat.  Dengan demikian  maka Pemerintah juga akan merangsang masyarakat untuk terlibat bahu membahu memabantu pendidikan di Indonesia.

Penjabaran pada jawaban pertanyaan ke 4 di paragraf pertama dengan didasarkan penjabaran paragraf kedua dan ketiga adalah sebaiknya pergantian kurikulum ini kedepannya hanya bisa dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR. Kenapa demikian?

setiap kurikulum harus diberikan waktu berkembang dengan penambahan-penambahan yang mengarah pada kemajuan di setiap zaman.

Kita telah mengalami pergantian kurikulum dengan nuansa politis, sebut saja adanya penataran P4, pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kemudian diganti jadi PPKN. Secara tidak sadar, ganti presiden ganti mentri kita kembali pada hal yang sama, apa itu? Pelajaran Pancasila tetap harus diiringi dengan moral, hanya ganti judul. Begitu juga di tingkat SMP seperti pelajaran IPA yang pada era KTSP dipisah menjadi Fisika, Biologi dan Kimia. Pada K13 pada prakteknya tetap dipisah, bahkan pelajaran kimia seperti persamaan reaksi yang pada zaman KTSP dipelajari di SMA sekarang  dipelajari di SMP juga. Jadi pada prinsipnya untuk mengurangi gonta ganti kurikulum dengan kebijakan yang membuat kita  semakin mundur sudah sepantasnya kurikulum pendidikan di Indonesia hanya bisa diganti melalui sidang darurat seperti sidang istimewa MPR. Jangan terulang lagi hal-hal seperti Menteri sebelum Bapak Nadiem pernah melontarkan full day school yang menuai pro dan kontra, sistem zonasi  sekolah yang nanti bisa berubah lagi seolah-olah hanya dipikirkan sesaat. Sudah saatnya pemerintah serius dalam hal konsep kurikulum Pendidikan Indonesia bukan hanya dalam hal alokasi dana APBN, alokasi dana APBN untuk pendidikan sudah menjadi sebuah titik maju bagi Pendidikan Indonesia,  tapi hal yang paling penting adalah pemerataan pendidikan dari Sabang sampai Merauke.  Boleh dibilang dari sejak awal sampai gonta ganti kurikulum sampai saat ini tetap belum maksimal pemerataannya di berbagai daerah. Bahkan penulis berani mengatakan bahwa sekolah di Kota dengan di Desa dalam suatu daerah yang sama sampai saat ini juga belum sama kualitasnya. Sebaiknya pergantian kurikulum nantinya juga menekan kan bagaimana penyebarannya juga effektif dan effesien nantinya sehingga bisa di nikmati seluruh Rakyat Indonesia. Orang tua juga harus aktif dalam pendidikan di  Indonesia, di sini maksudnya bukan berarti orang tua harus bisa pelajaran Fisika misalnya, akan tetapi orang tua harus aktif  berkoordinasi dengan sekolah dan lembaga non formal. Jadi jelas disini bukan hanya tugas Menteri Pendidikan, akan tetapi tugas semua Rakyat Indonesia dengan presiden sebagai penanggung jawab dan DPR serta MPR harus membuat payung hukum yang kuat agar tidak mudah di gonta ganti,  akan tetapi dikembangkan ke arah yang maju.

Pertanyaan ke 5 pada Paragraf pertama  jelas sudah terjabarkan. Mengganti kurikulum belum tentu menjadi sebuah solusi, misalnya jika kita ingin membuat anak lebih aktif solusinya bukan hanya  di kurikulum bahkan mungkin belum tentu dengan merubah kurikulum. Pola belajar manusia secara garis besar bisa dijabarkan pada gambar dibawah ini :

belajar-efektif-1

Dan secara garis besar belajar yang effektif akan menjadi sebagai berikut :

 

page (1)

Pertanyaan ke 6 di paragraf pertama adalah sebuah Ujian Nasional tetap harus ada sebagai tolak ukur pemerataan pendidikan di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama Indonesia adalah negara kepulauan yang besar, hampir mustahil kita bisa mengetahui apakah pendidikan di Indonesia sudah merata tanpa sebuah tolak ukur. Hal ini senada dengan Pendapat Bapak Menteri Nadiem. Komposisi Ujian Nasional yang lebih banyak membahas sebuah teori memang harus diganti. Pendapat awamnya seperti ini, bagaimana mungkin mengetahui kemampuan anak hanya dalam waktu beberapa hari. Ditambah lagi tolak ukurnya hanya berupa hitungan dan hafalan yang notabene berupa teori, banyak faktor x yang berpengaruh, seperti stamina, mental dan sebagainya. Dalam hal ini penulis mencoba memberikan solusi, yaitu :

Ujian Nasional dirubah konsepnya menjadi sistem Sidang Komprehensif (Tugas Akhir) seperi halnya Mahasiswa dengan bobot sesuai dengan tingkat sekolah murid.

Penerapannya, murid akan didampingi oleh wali kelasnya untuk membuat sebuah rangkuman beserta soal dan pembahasannya tentang apa yang telah dipelajarinya selama di bangku sekolah (tentunya mata pelajaran inti) dan murid akan mempresentasikannya di hadapan kepala sekolah (guru penguji) serta mempertahankan argumennya dihadapan para penguji. Hal ini memiliki banyak manfaat, seperti kita ketahui kebanyakan anak indonesia takut untuk bicara di hadapan orang banyak dalan forum resmi, bahkan bukan hanya anak-anak, penulis yakin masih banyak orang dewasa di Indonesia yang takut berbicara didepan umum, padahal hal ini sangat penting, apapun ide brilian kita akan tidak ada artinya jika kita tidak bisa menuangkan ide tersebut ke orang lain. Bapak Menteri Nadiem dalam merintis Gojek juga perlu mempresentasikan idenya. Bayangkan jika keberanian bicara ini kita pupuk dari SD. Dashyat bukan? Secara beban materi anak juga tidak terbebani dengan hal yang terkadang diluar kemampuan mereka, bagaimana mereka bisa mengerjakan soal tipe HOTS jika dasarnya saja mereka tidak mengerti. Dengan mempersiapkan materi sendiri serta dibantu guru pembimbing seperti wali kelas maka akan mencakup seluruh pelajaran yang mereka terima selama di sekolah, bahkan anak yang pemalas sekalipun akan secara otomatis mengingat kembali pelajaran dikelas sebelumnya, hal yang akan membantu mereka di jenjang kelas berikutnya. Apakah rumit? jika kita bisa melaksanan Ujian Nasional yang bersifat mengisi jawaban di seluruh Indonesia, maka melakukan Ujian Nasional dengan metode Sidang Komprehensif tidak akan terlalu rumit, bahkan hal ini akan menghemat kertas juga, bukan hanya kertas bahkan bisa membantu anggaran pemerintah mengadakan komputer untuk UNBK selama ini. Cukup Komputer untuk slide presentasi, anak-anak pun akan lebih kreatif dalam memanfaatkan software presentasi atau aplikasi-aplikasi yang ada, bahkan murid-murid bisa belajar video editing, membuat semacam company profile sejak dini dan keterampilan lainnya sehingga tetap sesuai dengan era 4.0 sesuai seperti yang ingin kita tuju. Semua elemen pendidikan bisa dilibatkan, orang tua terlibat, Lembaga Non Formal terlibat (baik Online maupun Offline), guru-guru privat terlibat bersama dengan pemerintah. Disamping itu sebagai tolak ukur Pemerintah bisa mengetahui sejauh mana pastinya anak-anak bisa menyerap kurikulum di daerah masing-masing. Apapun era nya kemampuan Public Speaking tetap akan menjadi sangat penting. Paragraf ini sekaligus menjawab pertanyaan ke 7 pada pargraf pertama.

Pertanyaan ke 8 pada paragraf pertama bisa pembaca ketahui dari penjabaran sebelumnya. Jika pemerintah ingin mempertahankan kurikulum ini (sebaiknya tetap di pertahankan atau balik ke KTSP karena belum terlambat) maka hal yang perlu sangat diperhatikan pemerintah bukan hanya standar penilaiannya saja, akan tetapi standar pengajaran juga harus diperkuat, Guru memang harus diberikan kebebasan dalam metode mengajar kreatif, akan tetapi guru juga perlu di beri kompas agar seragam dan tidak membingungkan murid serta orang tua. Penulis yakin dari fakta-fakta yang ada  masih ada ketidakseragaman dalam pengajaran walaupun kurikulumnya sama, hal ini ditambah lagi dengan sekolah-sekolah yang notabene sekolah internasional dengan beban pelajaran yang dipaksakan pada intrakurikuler sehingga beban anak semakin bertambah secara otomatis.

Akhir kata penulis menyakini tugas Bapak Menteri Nadiem akan sangat berat sehingga perlu untuk didukung. Seluruh rakyat harus terlibat sesuai dengan kapasitasnya. Contoh Moral Public Figur juga sangat penting. Bagaimana menghasilkan generasi yang malu akan korupsi, kolusi dan nepotisme jika pejabatnya saja terlibat. Semua pertanyaan sudah penulis jawab. Maka kesimpulan dan solusi berdasarkan  pertanyaan-pertanyaan essay pada paragraf pertama, adalah :

  1. Pergantian kurikulum atau penambahan kedepannya harus melalui mekanisme yang ketat dan terarah serta bahu membahu dari rezim pemerintahan ke rezim berikutnya secara estafet. Pergantian kurikulum secara menyeluruh harusnya hanya bisa dilakukan melalui sidang darurat seperti Sidang Istimewa MPR.
  2. Pemerintah sebaiknya melibatkan semua elemen pendidikan seperti Sekolah atau Lembaga Non Formal serta guru-guru les Privat serta menyuburkannya untuk bahu membahu membenahi Pendidikan.
  3. Pemerintah (Dinas Pendidikan) harus membuat S.O.P  pengajaran yang jelas dan harus menyenangkan sehingga guru mempunyai kompas dalam mengembangkan kreatifitas mengajar.
  4. Ujian Nasional selama ini sebaiknya di ganti dengan sistem Sidang Komprehensif sehingga tolak ukur bisa secara menyeluruh didapatkan dan membuat murid-murid siap untuk era 4.0 , murid -murid bisa secara komprehensif menyerap pelajaran, kemampuan Public Speaking meningkat dan hal ini juga bisa membantu penyaluran anggaran pemerintah secara effektif dan effesien.
  5. Memajukan Pendidikan di Indonesia adalah tugas seluruh rakyat Indonesia yang dikoordinir oleh menteri pendidikan dengan penanggung jawab utama Bapak Presiden dan dipayungi oleh undang-undang yang kuat serta pengawasan yang ketat oleh lembaga tinggi negara.
  6. Mengganti kurikulum bukan berarti sebuah solusi, psikologi pendidikan tetap harus dilibatkan agar kurikulum yang ada bisa terus berkembang sesuai kebutuhan zaman.
  7. Pemerataan pendidikan di seluruh daerah Indonesia seharusnya menjadi poin pertama dalam pertimbangan ganti kurikulum, karena jelas akan berhubungan dalam hal efektifitas dan effesiensi.

Demikian lah adanya, jika pembaca ingin menyumbang ide, kritik atau masukan silahkan pada kolom komentar. Walaupun tulisan ini belum tentu juga di baca oleh pemerintah akan tetapi kita telah membuktikan bahwa Rakyat Indonesia sangat peduli dengan Pendidikan dan siap membantu pemerintah menyumbang tenaga dan pikiran. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan sukses buat semua, selamat bekerja Bapak Menteri Nadiem, jika ada penulisan atau kata yang salah mohon dimaklumi.

Comments

  • RDP Wahab
    Reply

    Go Pendidikan

    • sec

      Semangaaattttts Om RDP, hehehe

  • Monot
    Reply

    Ujian Nasional nanti hanya ganti judul lagi, tetap ada

    • sec

      Sepantasnya memang harus ada tolak ukurnya Pak untuk mengetahui sejauh mana pemerataan mutu pendidikan kita, tapi kalau di gonta ganti terus kebijakan dan kurikulum nya setiap ganti penguasa, kapan kita akan fokus ke pemerataan nya ya Pak?

Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Open chat
Ada yang bisa kami bantu?