cyberschool Vs Belajar tatap muka

Cyberschool, Bersemangat di Masa Pandemi dan Panik Ketika Pandemi Pergi

Sekolah-sekolah non-formal yang menamakan dirinya cyberschool, sebenarnya sudah lama hadir sejak sebelum mewabahnya Covid-19. Sesuai dengan namanya, cyberschool  menggunakan sarana komunikasi cyber (digital) alias tatap-maya dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajarnya. Proses pembelajaran secara online ini tentunya sangat ideal dan tergolong aman bagi para siswa, ketika pandemi tengah menjadi-jadi. Para siswa tidak perlu datang ke sekolah dan bertatap muka dengan para pengajar. Juga tidak perlu bersinggungan secara fisik dengan teman-temannya. 

Memang, di masa pandemi, sekolah-sekolah formal pun menyelenggarakan program pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui berbagai perangkat online. Namun, pada beberapa sekolah swasta berbiaya mahal, proses belajar-mengajar secara online ini terkadang berlebihan. Anak-anak dipaksa untuk menatap layar digital, baik melalui Zoom ataupun Google Meet selama berjam-jam setiap harinya, yang pastinya membuat mata mereka kelelahan, sehingga daya konsentrasi para siswa pun menurun.

Cyberschool dan Belajar dari Rumah

Ditambah lagi dengan tugas-tugas membuat berbagai macam video yang berkaitan dengan pelajaran, yang berakibat semakin panjangnya jam belajar mereka setiap hari. Lebih panjang dari waktu yang biasanya digunakan pada kegiatan belajar-mengajar tatap-muka. Kondisi seperti ini, selain kurang efisien, terkadang membuat para orangtua murid kewalahan karena harus membantu anak-anaknya menyelesaikan berbagai macam tugas yang terkesan mengada-ada.

Di sisi lain, sekolah-sekolah “murah” termasuk sejumlah sekolah negeri, tidak memanfaatkan teknologi komunikasi digital secara maksimal. Tidak ada tatap maya. Tidak ada komunikasi langsung antara guru dengan murid; hal yang teramat penting dalam proses belajar mengajar di tingkat manapun. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, karena keterbatasan perangkat teknologi komunikasi di sekolah-sekolah bersangkutan. Pun, tidak semua keluarga memiliki pesawat komputer (laptop atau tablet) yang diperlukan.

Sebagai gantinya, adalah sederetan tugas yang diinstruksikan melalui Whatsapp. Lagi-lagi para orangtua murid direpotkan karena harus membantu anak-anaknya menyelesaikan tugas-tugas hariannya. Itu pun kalau orangtuanya tidak harus ke luar rumah mencari nafkah. Sedangkan anak-anak yang orangtuanya terpaksa (karena kondisi ekonomi) harus mengais rejeki di luar rumah, atau orangtua yang tidak peduli dengan kemajuan pendidikan anak-anaknya meskipun berada di rumah, maka bisa dibayangkan seperti apa hasilnya proses pembelajaran melalui media sosial tersebut.

Cyberschool sebagai solusi

Di tengah dilema seperti inilah, cyberschool muncul menawarkan solusi alternatif yang cukup menarik. Melalui cyberschool, para siswa hanya perlu bertatap-maya dengan para pengajarnya paling lama selama dua jam per hari, dengan kurikulum standar seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah negeri atau sekolah swasta jenis old school.

Selebihnya, para orangtualah yang harus aktif membimbing anak-anaknya untuk memperdalam pelajaran-pelajaran yang mereka peroleh secara online. Atau, mengisi waktu-waktu belajarnya yang tersisa melalui bimbel-bimbel online seperti SEC (Senopati Education Center). Cara ini lebih efektif ketimbang memberondongkan segudang tugas yang tidak begitu penting kepada para siswa, seperti yang dilakukan oleh sebagian sekolah formal. Di cyberschool, para siswa tidak dibebani tugas-tugas seperti itu.

Biaya pendidikan (SPP) di berbagai cyberschool, umumnya tidak terlalu mahal. Paling banter, setara dengan SPP di sekolah-sekolah swasta untuk kalangan masyarakat kelas menengah. Meskipun ada juga cyberschool yang menetapkan biaya selangit. Ijazahnya setara dengan sekolah formal. Paket A untuk SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA. Dengan kata lain, siswa cyberschool sewaktu-waktu bisa pindah atau melanjutkan ke sekolah formal, termasuk mendaftar ke perguruan tinggi bagi para pemegang ijazah paket C. Jadi, soal ijazah ini tidak perlu dikhawatirkan.

Partisipasi Aktif Orangtua Siswa

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para orangtua, sebelum memutuskan untuk mendaftarkan anak-anaknya ke cyberschool. Pertama, telusuri dulu track record cyberschool tersebut. Kenali lembaga yang menaunginya. Apakah lembaga yang sudah cukup berpengalaman di bidang pendidikan, atau lembaga “coba-coba” yang baru didirikan hanya untuk kepentingan mencari uang. Telusuri juga sudah berapa banyak lulusannya, termasuk berapa banyak siswa lulusan cyberschool bersangkutan yang berhasil memasuki perguruan tinggi.   

Yang kedua, pelajari kurikulumnya dan periksa buku-buku pelajarannya, apakah sudah sesuai dengan kurikulum nasional yang ditetapkan pemerintah. Dan, jika memungkinkan, telusuri riwayat para pengajarnya agar dapat mengukur kualitas mereka sebagai guru. Yang ketiga, pertimbangkan biaya pendidikan yang ditetapkannya. Jangan yang terlalu murah, karena khawatir akan memberikan proses pengajaran yang serampangan, kecuali lembaga yang menaunginya adalah lembaga filantropis yang didukung dana tak terbatas. Kalau yang terlalu mahal? Itu sih terserah Anda. Kalau Anda punya banyak uang, mengapa tidak?

Namun yang jauh lebih penting, bahkan yang paling penting dari semua itu adalah kesediaan Anda untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajar-mengajar anak-anak Anda melalui cyberschool. Banyak cyberschool yang sejak dini mengingatkan para orangtua calon siswa bahwa keterlibatan penuh para orangtua mutlak diperlukan dalam mengawasi proses belajar-mengajar anak-anaknya. Mengawasi tidak hanya ketika anaknya bersekolah secara online, tapi juga pada jam-jam setelahnya. Aktif mengarahkan anak-anaknya untuk memperdalam pelajaran-pelajaran yang diterimanya.

Tugas para pengajar cyberschool hanya memberikan pelajaran pada jam-jam pelajaran yang relatif singkat itu, untuk kemudian memberikan ujian secara online. Jika Anda adalah orangtua yang terlalu sibuk di luar rumah, dan tidak bisa menyediakan pendamping anak Anda di rumah, sebaiknya masukkan saja anak Anda ke sekolah formal, yang sekarang sudah mulai melakukan kegiatan pembelajaran secara tatap muka.

Tantangan Cyberschool Pasca-Pandemi

Kegiatan pembelajaran secara tatap-muka sudah mulai dilakukan secara bertahap di berbagai sekolah formal, seiring melandainya kondisi pandemi. Bahkan sudah banyak sekolah formal yang menyelenggarakan kegiatan tatap-muka dengan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Kondisi ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga cyberschool, yang bukan tidak mungkin bakal kekurangan peminat jika tidak mampu menata diri.

Gambar oleh Hatice EROL dari Pixabay

Tantangan paling utama adalah merekrut para pengajar yang memiliki kualitas yang lebih baik –atau setidaknya setara – dengan kualitas pengajar di sekolah-sekolah formal. Lalu merancang dan melaksanakan sistem pembelajaran yang lebih menarik, menyenangkan dan berdampak positif bagi para siswa. Kemudian berkomunikasi aktif dengan para orangtua murid untuk mendapatkan umpan balik yang berguna bagi kemajuan cyberschool itu sendiri.

Yang terakhir adalah konsistensi. Sekali menyatakan diri sebagai cyberschool, maka seyogianya tetaplah menjadi cyberschool. Soalnya, ada beberapa cyberschool yang tiba-tiba menawarkan program sekolah offline atau tatap-muka secara penuh, lantaran panik dengan dimulainya kembali proses pembelajaran tatap-muka di sekolah-sekolah formal. Kalau begitu, apa bedanya dengan sekolah formal, dan mengapa masih menggunakan istilah cyberschool?  

Kalaupun ingin menyelenggarakan program tatap-muka, sebaiknya itu merupakan bagian dari paket cyberschool secara keseluruhan, guna memberikan kesempatan untuk bersosialisasi bagi para siswanya. Bersosialisasi dengan teman-temannya, bersosialisasi dengan para pengajarnya. Cyberschool tidak perlu khawatir akan kehilangan siswa, karena masih banyak orangtua yang lebih merasa aman jika anak-anaknya tetap bersekolah secara online. Terutama para orangtua yang sering berkegiatan di luar kota. Mereka tetap bisa bekerja tanpa harus meninggalkan anak-anak mereka di rumah, karena cyberschool tidak terikat ruang dan waktu. Anak-anak tetap bisa bersekolah di mana pun mereka berada, dan ke mana pun orangtua membawanya.    

Penulis : Billy Soemawisastra

Baca juga :

Lihat juga Kanal YouTube Senopati Center :

Comments

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Open chat
Ada yang bisa kami bantu?