Demi God (novel bersambung tentang arogansi manusia) part 2
RS Kasih Bunda, Jakarta, 10 hari sebelumnya
Sekilas di balik kaca matanya, ia melihat dr. Budi, asistennya, sedang mengawasinya. Ini adalah hari pertamanya. Mudah-mudahan ia betah, pikirnya. Ia senang dr. Budi menelponnya. Di usia senja dan globalisasi, ia membutuhkan obgyn muda yang handal. Bukankah rumah sakit Elizabeth sudah menawar rumah sakit ini?
Sambil mengangkat kedua lengan yang masih bersabun ia melangkah masuk. Suasana itu rutin untuknya. Ia sudah melakoninya sejak 1979. Sekarang ia sudah menjadi petinggi di bagian kebidanan Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) dan sebentar lagi profesor Ilmu Kebidanan. Pasien sudah tidur dan pernafasannya dikontrol dengan mesin. Dokter Rian, kolonel POLRI, anastetis, tegap berdiri di kepala pasien. Ia sudah dikenalnya semasa pendidikan. Pelan, dr. Mardi berjalan ke nampan steril mengambil jubah operasi.
Dalam satu gerakan yang tak terputus, ia menguraikan lipatannya, melemparkannya ke atas sembari mengangkat kedua lengannya dan memasukan ke lengan baju itu. Sementara itu, seorang bidan mengancingkan jubah itu di belakang leher dan yang lain, yang baru sekali ii di lihat nya, memasangkan sarung tangannya. Syukurlah, ia sudah tahu nomornya. 7,5. Terimakasih pada Vera, pikirnya. Dengan tangan tersarung, ia membuka sabuk jubah itu. Satu ujung dipegangnya dan yang lain oleh Vera. Ia berputar, mengambil ujung sabuk yang dipegang Vera dan menyimpulkannya.
Sesudah cuti dua minggu ia masih handal, pikirnya. Bidan yang satu ini adalah kesayangannya dan selalu harus ikut operasi bersamanya. Tiada yang tahu kecuali dr. Mardi bahwa Vera mengingatkannya akan seseorang.
Segera ia mengambil tempat di sebelah kiri sedangkan bidan Vera dan dr. Budi di sebelah kanan. Inilah teater kehidupan, pikirnya. Berumur ratusan tahun serta awet sampai saat ini, ia dilakukan disetiaqp entakan nafas kamar bedah di seluruh dunia dengan ritual dan kostum yang universal.
Awal Operasi Tragedi
Sandra, pasien, janda muda beranak satu datang dengan haid yang berkepanjangan. Mioma, tumor jinak rahim yang terlihat di USG terletak di permukaan sehingga tidak lazim bisa dipersalahkan. Namun, tiga bulan gagal dengan obat hormon sudah cukup untuk melakukan operasi.

“Bismillah, “Dokter Mardi berucap tenang. Sekarang tuhanlah yang bekerja, pikirnya. “Cuci, ” katanya sambil mengulurkan tangannya.
Bidan Vera memberikan mangkok steril berisi betadin ke tangan kirinya dan klem dengan kasa terlipat yang terjepit diujungnya ke kanan. Pelan, dr, Mardi mencelupkan kasa itu ke betadin dan menyapu perut pasien melingkar dari dalam dan terus keluar menjauhi pusar. Ia selalu mengerjakan itu sendiri.
“Pisau, ” Kata dr. Mardi sesudah menutup perut pasien dengan empat laken : di sebelah bawah melewati tempat tidur sampai tiga jari dari pusar ; atas, kepala sampai dua jari di atas ; samping kanan dan kiri, terjuntai pula sampai lima jari dari puser.
“Koq? Katanya lembut melihat pisau nomor 15 yang disodorkan. Goblok, Bidan Vera memaki dirinya sendiri. Tentu untuk menembus kulit, memasukan laporoskopi, dibutuhkan pisau nomor 11 yang runcing. Ia belum bisa memulihkan kekagetannya melihat dr. Budi.
“Dok, miomanya ada di permukaan, ” gumam dr. Budi dan sambil tersenyum menyenggol bidan Vera dengan sikunya. Ia kagum dengan kamar bedah RSKB. Kecil dibanding dengan RS. Landa tetapi efektif dan effesien. Semua lemari berada dalam dinding hingga sterilisasi mudah dilakukan. Pipa oksigen dan suction pun menempel di dinding seperti halnya monitor.
“Ya, tapi kenapa harus berdarah?” Dokter Mardi menukas, sambil melihat di monitor. Mioma seukuran jempol menonjol dipermukaan uterus, Terpaku melihat monitor, ia tidak melihat senggolan itu. Tangannya bergerak lincah. “Nah ini?” dr. Mardi dengan lega.
Selain mioma yang kecil itu, monitor memperlihatkan ovarium membengkak dan berlengketan dengan usus. Kena batu, pikirnya. Mungkin ialah penyebab pendarahan karena mioma di permukaan tidak akan menyebabkannya. Ia merasakan buah simalakama. Lanjut atau tidak adalah masalah abadi dalam operasi. Dan ialah, pemegang ropanasuri yang mempunyai hak mutlak untuk menggunakan atau meletakkannya. “Gimana Bud?” Dokter Mardi bertanya. Ia butuh waktu untuk mengambil sikap.

“Kalau saya sih, ambil saja mioma. ” Dokter Budi menjawab. Untuk apa meriskir pembebasan usus, pikirnya. Toh izinnya untuk mioma. Apalagi mereka berhadapan dengan kolon, usus besar yang tidak akan semudah usus halus.
“Bagaimana dengan ovarium ini? Mungkin ia tidak menyebabkan pendarahan, apalagi pasien ini berencana untuk kawin. “Dokter Mardi bertanya.
“Tapi dia kan sudah pernah melahirkan” Dokter Budi menjawab. Seperti biasanya, sebelum operasi ia membaca status.
“Kan bisa saja mentok lagi?” Dokter Mardi bertanya lagi. Ia ragu. Ia ingat Prof. Ratna yang selalu mengatakan bahwa bila ragu-ragu sikapnya adalah operasi.
“Vera, lihat inform consent, ” perintahnya tegas. Di zaman reformasi ini, Soeharto, mantan Presiden dapat dituntut di pengadilan apalagi dokter.
“lengkap.” Untung ia sudah membaca izin operasi, pikirnya. Ada sua tahap timbang terima kelengapan pasien yaitu dari ruang rawat ke ruang bedah, dan dari situ ke kamar bedah.
“Yuk, kita bereskan, ” Kemudian ” Kita mulai dengan melepas usus. ”
“Perlukah kita pangil orang bedah, Dok?” tanya dr. Budi. Lebih amankalau dikerjakan mereka, pikirnya.
“Tenang saja lu, gampil.” gampil.” Ia sudah sering melakukannya. Memanggil bedah kurang disenanginya karena mereka lebih suka membuka perut dengan lebar padahal ia menjanjikan luka yang kecil.
Dokter Budi tidak heran dengan keputusan itu. Bukankah orang hanya sekedar bertanya. Begitulah kata Dumas dalam Tiga Panglima Perang, buku kesukaannya waktu kecil. Kelihatannya mudah tetapi dr. Budi mengetahui bahwa melakukannya dengan melihat monotor jauh lebih sukar ketimbang langsung memegangnya.
Sambil melihat monitor, dr. Mardi dengan telatendan hati-hati menggeser usus dengan pinset untuk melepaskan pelengketan itu. Sesaat hampir lepas dari ovarium, pendarahaan muncrat dari usus. “Kauter.” Dan “Ces, ces, ces.” Bunyi usus beradu dengan kauter. Walaupun sudah biasa, ia kaget juga sewaktu asap menyelimuti pandangan monitor. “Suction.” Sekejap usus terlihat lagi, pendarahan berhenti.
Tiga Hari Sesudah Operasi
TIGA hari sesudah itu dr. Kusriyati jaga malam. Kecil mungil dan berjilbab, alimni GAMA tahun 1986 itu bekerja di Puskesmas dan menjadi dokter jaga untuk menambah penghasilan dan ilmunya. Ia mengambil jaga malam setiap Selasa di RS Landa dan Jumat di sini. Selain itu, ia bekerja dan praktik di Puskesmas Pasar Rumput. Sabtu dan Minggu adalah hari khusus untuk anak wanitanya, kelas 3 di SMP 1 Cikini. Menurut tuturnya, suaminya meninggal sewaktu bertugas di Aceh.
Jam sembilan malam kurang beberapa menit, sesudah berjuang dengan angkot dan bajaj disepanjang jalan Saharjo, ia memarkir mobil tuanya dan naik ke lantai 1. Ruang tunggu itu penuh pasien. Masih ada dokter yang praktek. Lantai ini bukan urusan dokter jaga, pikirnya.
Ia berjalan ke sebelah kanan dan naik tangga ke lantai 2. Melongok dari pintu, seorang bidan membukakannya. Senyum, secercah, ia langsung melihat papan operasi. Ada rencana seksio dua, satu oleh dr. Mardi dan satu lagi dr. Budi. Ia tertegun sejenak. Ah, tidak mungkin adikku, pikirnya. Ia kan bekerja di RS. Landa.
Di bawahnya tertulis kuret tiga dan partus bidan 5. Post op eksio akan di rawat di lantai 4, kuret bisa pulang hari dan partus bidan hanya akan menjadi urusan bila bermasalah. Buka sepatu dan melongok ke OK adalah rutin. Tidak ada pasien di kamar persiapan.
Puas, capek berkeliling , ia naik lift yang membawanya ke lantai 3. Ia mulai visite dengan melihat papan pesan. Adakah pasien yang perlu diperhatikan? Kosong. Aman. Syukurlah, pikirnya. Sambil menggapai Bidan Linda yang juga jaga, ia berkeliling.
Bidan Linda : “Pasien Dokter Mardi, Dok,” kata Linda, di depan kamar 303.
dr. Kusriyati : “Dengan apa?”
Bidan Linda : “Post op miom per laparoskopi.”
dr. Kusriyati : “Kapan?”
Bidan Linda : “Tiga hari yang lalu.”
dr. Kusriyati : “Lho, kok belum, pulang?” Biasanya dua hari paling lama, sudah pulang, pikirnya.
Bidan Linda : “Sudah lepas infus, Dok.”
“Mari kita lihat.” Dokter Kusriyati mencium masalah. Di tempat tidur, ia melihat seorang nyonya atau nona kah, meringis kesakitan. Di sampingnya berdiri seorang wanita, mungkin temannya. Ia bisa menerimanya karena di ruang VIP, aturan hanya bisa dibesuk pada jam tertentu tidak berlaku. Tonggak infus sudah tidak ada dan makanan di meja sampingnya masih utuh. TV menyala menayangkan film misteri “Penampakan” yang paling tak disukainya. Syirik, begitu kata guru mengajinya. Persoalankah? Tanyanya dalam hati.
“Saya Kusriyati, dokter jaga malam ini. Apa yang terasa, Bu? tanyanya. “Megah, Dok. Perut saya gembung rasanya.” “Maaf ya, Bu.” Dokter Kusriyati Memegang perutnya. Memang gembung pikirnya kemudian. “Sakitkah bila saya tekan?” sambil menekan sedikit. Oh Sandra menggeliat menahan sakit. “Sakit sekali, Dok,” ujarnya.
Tiga hari pasca bedah dan masih sakit, berarti ada apa-apanya di dalam perut dan bukan gejala biasa. “Tensi,nadi,pernafasan dan suhu berapa, Sus?”
Bidannya Linda membalik status, “Tensi 120 90,nadi 100,nafas 30 dan panas 39, Dok.”
“Aksila atau rektal?” tanyanya. “Aksila, Dok.”
Ia kaget. Beginilah bidan, pikirnya. Di bagian bedah pengukuran suhu harus rektal karena mencerminkan panas tubuh yang sebenarnya. Ketiak atau aksila akan lebih rendah karena ikut dipengaruhi AC dan keringat. Pasti paling kurang 40, pikirnya. Ia memasang stetoskop dan meletakkannya ke perut. Hening, tidak terdengar bising usus. Normal bila satu hari karena pembiusan. Tapi tiga hari . . . Dengan sakit perut dan panas tinggi? Spesis kah? perforasi kah?, tanyanya dalam hati. Mengemukakannya di depan pasien haram hukumnya, apalagi bila operatornya adalah pemilik rumah Sakit.
“Saya ambil obat ya, Bu!”
“Iya,” berkilah dan keluar. “Mari,” ajaknya sambil melihat ke bidan di luar. “Udah lapor, Sus?”
“Sudah, Dokter. Mardi bilang tidak apa-apa, biasa. Kayaknya bocor.” Kemudian, laporan lagi. Bidan itu pergi dan Dokter Kusriati melanjutkan visit-nya. Sepulang dari lantai empat, ia berhenti di Nurse Station.
“Gimana, Sus?” tanyanya.
“Instruksi Dokter Mardi dipuasakan, Dok, dan pasang infus. Syukurlah dia dapat dihubungi malam ini. Tapi kenapa tidak memasang pipa lambung dan kateter di bagian bedah semasa ia masih belajar? Dalam keadaan seperti Sandra, semua lubang harus disumpel, seperti hidung dan kemih.”
“Bisa bicara sebentar?”
“Tentu.” Ia berbalik dan mengenali wanita yang lebih tinggi darinya, anggun dengan blazer gaya eksekutif itu sebagai tamu Ibu Sandra. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Ia tersenyum.
“Bagaimana keadaan Ibu Sandra, Dok?”
“Oh, keadaannya sudah saya laporkan ke Dokter Mardi dan beliau memberikna instruksi.” Kemudian, “Maaf Bu, masih ada pasien yang belum saya lihat.”
“Tunggu, Dok, Sandra adik saya dan saya juga orang rumah sakit. Kayaknya ada yang tidak beres.
Di mana, Bu?” Ia waspada, mungkin kekhawatirannya akan terbukti.
“Rumah Sakit Elizabeth, Dok. Saya Susi, dokter alumni USU dan di bagian pemasaran.” Mereka bersalaman. Semua orang kenal dengan Rumah Sakit Elizabeth, rumah sakit internasional di Tangerang yang berdiri tahun lalu.
Dokter Kusriyati mencium bahaya. Mengatakan yang dipikirkannya berarti menjelekkan Dokter Mardi. Namun sepertinya Dokter Susi sudah mencium ketidakberesan itu. Tapi bisa jadi juga tidak kalau ia M.A.R.S. yang mengurus manajemen rumah sakit dan bukan pasien.
“Gimana, Mbak? Mari kita ke kamar jaga,” ajak Dokter Kusriati dan mereka turun berdua ke lantai dua, menuju kamar jaga yang terletak paling ujung di sebelah barat.
“Oh, ini di antara kita saja ya.” Dokter Kusriati memulai pembicaraan sesudah mereka duduk di tempat tidur seperti kawan lama. “Ya, rasanya usus Ibu Sandra bocor. Saya sudah melaporkannya melalui bidan.”
“Kok baru ketahuan? Kan sudah tiga hari, Dok?”
“Maaf, saya hanya jaga setiap Jumat.
“Kenapa tidak lapor langsung?”
“Di sini semua melalui bidan jaga. Mereka lebih berkuasa dari kita.”
Dokter Susi mengangguk maklum. Di rumah sakit bersalin, bidanlah yang berkuasa dan lebih dipercaya dari dokter jaga.
Sabtu pagi yang cerah
Sabtu pagi itu cerah. Dokter Kusryiati kesiangan, malam itu ternyata lebih sibuk dari biasanya. Pasien baru dengan partus dan operasi malam itu membuat ia tidak bisa tidur lelap. Segera ia bersiap-siap membuat laporan jaga dan melangkah turun. Ia tidak lupa menuliskan supaya pasien kamar 303 diawasi dengan ketat.
Di tangga turun, ia kaget. Bukankah yang memarkir mobil itu Budi, adik angkatnya? Lima tahun tidak ketemu dan ia sudah naik BMW. Budi melambaikan tangan dan tanpa disadari keduanya berpelukan. Ingat masa lalu yang manis di Sleman.
“Mbak, saya ada seksio nanti malam. Jumpa, ya?”
“Eh, tunggu! Udah ketemu Vera?”
“Udah! Dia hebat. Maaf ya, Mbak!” Dokter Budi bergegas hendak naik tangga.
“Gimana sih, buru-buru aja itu! Nyonya Sandra gimana operasinya?”
“Kenapa, Mbak? Kayaknya perforasi. Mardi?” gumamnya. “Nanti saya lihat,” sambungnya.
“Belum cukupkah hukumanku, Ya, Tuhan. Baru sekali jadi asistennya, usus sudah bocor.” Padahal, sebelumnya ia bersyukur karena langsung diterima bekerja di RSKB. Dengan satu telepon di waktu subuh oleh Dokter Mardi, seniornya. Pilihan lainnya adalah Rumah Sakit Internasional Elizabeth. Ia sendiri heran, obgyn yang masih baru ini berkali-kali diajak oleh Miss Jane, bule di pemasaran rumah sakit.
Bisnis merupakan pilihan terakhir karena bagaimanapun ia harus hidup. Ia kurang suka di situ karena hanya akan menjadi suatu simpul dalam jaringan industri kesehatan internasional dengan prinsip more cost, more revenue. Mereka akan menyuguhkan alat canggih yang bagaimanapun harus dipakai. Lainnya adalah yang dijalankan oleh Yayasan Dhuafa. Saat dibangun dengan niat menyebarkan agama, mereka menarik, tapi sekarang sudah ikut-ikutan berbisnis.
Rumah sakit milik dokter kelihatannya sesuai karena walaupun berbisnis, mereka adalah dokter yang masih mempunyai rasa. Tidak terasa ia sampai di kamar bedah. “Nanti habis operasi saya lihat Sandra,” pikirnya.
Sementara itu, perut Sandra semakin gembung. Muntahnya yang hijau menjadi hitam dan bau. Kemarin Dokter Mardi datang dan katanya semua berjalan lancar. Sore ini, katanya Dokter Suntoyo, ahli bedah umum, akan melihatnya, tetapi yang datang bukan dia. Dokter yang masih muda inilah yang mengenalkan dua kawan akrabnya kelak, yaitu pipa lambung yang dimasukkan dari hidung dan kateter ke lubang pipisnya.
Rasa mengganjal di hidung itu kalah dengan sakit perutnya. Namun, ajaib, sakitnya berkurang dengan aliran cairan hijau di pipa itu. “Empedu,” kata bidan yang mendampingi.
Dokter Budi pusing. Dokter Budi menimbang apa yang akan dilakukannya? Kemudian, karena tidak ada yang dapat menghubungi Dokter Mardi, membuat foto ronsen abdomenkah untuk mengetahui adanya kebocoran usus? Bila ya, Dokter Mardi telah membuat kesalahan. Bila tidak, ia akan digantung karena melangkahi senior yang harus serba dimuliakan di kalangan obgyn. Sebaliknya, ia ikut operasi dan tentu harus bertanggung jawab.
“Bu, kita buat foto ronsen, ya,” akhirnya Dokter Budi mengambil sikap.
“Bu, maaf, saya kira perutnya harus dibuka,” kata Dokter Sunyoto yang baru datang Minggu malam. Berbaju batik santai, ia ditelepon tadi siang langsung oleh Dokter Mardi dan baru sempat ke RSKB malamnya. Dugaannya, Sandra mengalami kebocoran usus paska laparoskopi yang sulit untuk diduga baik letaknya ataupun apa yang akan dilakukan.
“Bila tidak dibuka lebar, kenapa, Dok?” tanya Sandra. Ia tidak bisa melupakan Dokter Sunyoto yang tinggi, gemuk, dan berkacamata. Lima tahun yang lalu di Rumah Sakit Metro, ia sudah direncakan untuk operasi ususnya mengalami gangguan, kata dokter bedah usus di rumah sakit MMC. Biaya operasi yang mahal membuat ia pindah ke sana.
Sewaktu melakukan visit sehari sebelum operasi di samping tempat tidurnya, Dokter Sunyoto mendadak jatuh. Operasi ditunda dan anehnya ia merasa sembuh. “Sepertinya ada gas yang terjebak tidak keluar,” Dokter Sunyoto menerangkan dengan tenang.
“Dari mana datangnya, Dok?”
“Waktu operasi dengan Dokter Mardi, ke dalam perut Ibu kan dimasukkan gas untuk mempermudah operasi,” terangnya. Perasaannya mulai tidak enak, toh ia masih bisa menekan perasaan itu. Ia bohong, tapi tidak seluruhnya. Bukankah memang ada gas yang dimasukkan pada laparoskopi?
“Tidak bisa dengan obat-obatan, Dok?” Klise, semua pasien menanyakannya.
“Ini serius, Bu. Bila tidak dikerjakan, Ibu… meninggal,” sambung Sandra. “Maaf, itu urusan Tuhan.”
“Biasanya, ya, apa yang akan dikerjakan, Dok?”
“Oh, hanya mengeluarkan gas,” Dokter Sunyoto menunduk. Ia tidak kuasa menerangkan kenyataan itu. Berbohong demi kebaikan, pikirnya. Tapi untuk siapa? Ibu ini atau Mardi?
“Besarkah operasinya?” Ia memilih laparoskopi karena menurut Dokter Mardi, bekas lukanya kecil hingga Beni, calonnya, tidak akan ngeri di malam pertama. Untunglah pautan hatinya itu sedang di Amerika melanjutkan studinya.
“Sedang-sedang saja.” Dokter Sunyoto mulai menggigit kuku, kebiasaan waktu kecil tak kala dimarahi eyangnya. Perut nyeri, gembung, dan tegang, serta gambaran udara bebas pada foto ronsen abdomen tiga posisi adalah pertanda kebocoran usus. Bagaimana mungkin melakukan sayatan kecil bila harus memperbaikinya?
Tiba-tiba Dokter Mardi masuk ke kamar. “Percaya deh sama saya. Dokter Sunyoto sudah sering melakukan operasi ini,” katanya. Kemudian disambungnya, “Kapan, Dok?”
“Sebentar, Dok,” Sandra memotong. Rupanya Dokter Mardi sudah tahu akan rencana operasi ulang ini, pikirnya. “Bisakah saya dioperasi oleh Dokter Bobi?” Ia ingat bahwa seminggu lalu ia dikenalkan oleh Dokter Rahman pada Dokter Bobi, ahli bedah tumor.
“Masuk akal,” pikir Dokter Mardi. Ia sudah kenal sejak lama. Tapi ketimbang Bobi, Sunyoto bisa diatur. Ada utang yang tidak pernah akan lunas, pikirnya. Pendek ia menjawab, “Ia di Bandung.” Kemudian lanjutnya, “Jadi, kapan?”
Keesokan harinya, Bidan datang mendorong tempat tidurnya ke lift dan turun ke lantai 2. Di pintu kamar bedah, ia disambut oleh beberapa bidan. Beberapa lainnya, sibuk hilir mudik. Ia mengenali empat orang yang berada di ruangan itu. Dokter Rian, anestesi yang berdiri di dekat kepalanya, dr. Mardi dan dr. Sunyoto yang sedang mencuci tangan serta bidan Vera yang sudah mengenakan baju operasi dan membenahi peralatannya. Tim yang dulu, pikirnya.
“Selamat tidur, Bu, “Kata dr. Rian sambil menyuntikan obat. “Kenapa tidak pangil saja Bobi?” tanya dr. Sunyoto sambil mengayunkan pisau di garis pertengahan dari pubis melingkari pusar dan berhenti tiga jari di atasnya. Tipis sekali, pikirnya.
Santai ia memasangkan kasa basah melindungi dinding perut dari cemaran isi usus. Sembari memasang klem di sisi kanan dan kiri perut yang terbuka, dua jari di bawah pusar, ia berkata, “Suction – kita membuka peritoneum” katanya. Ia melihat ke dr. Mardi. Kenapa? pikirnya. Kenapa tidak memangil Bobi ataupun Budi. Kelak, ia menyesal tidak melakukannya.
Tanpa menunggu jawaban, ia melubangi peritoneum, memasukan suction. Udara feses menyelimuti OK. Perutnya sudah menjadi WC,
“Kayaknya kita harus kolostomi, Mas, “kata dr. Sunyoto.
“Kalau bisa jangan, “jawab dr. Mardi.

“Kenapa?”
“Ribut entar, masak mioma jadi kolostomi.”
“Cukup besarkan prosentasenya?”
Diam. Sesuatu menghentak di hati dr. Mardi. Ia tahu bahwa orang bedah menjulukinya Mardi si Bocor.
“Lihat dulu dong, “Dokter Rian menengahi. Ia salah satu pemegang saham mayoritas. “Masa begitu saja menyerah.”
Kata-kata itu mengena. Ego dr. Mardi tersinggung. Diam, ia memasang haak dan mata elangnya tajam mengamati. Usus halus terlihat normal. Jadi usus besar, pikirnya. Pelan, ia mengurut kolon dari usus halus. Tidak terlihat kebocoran di asenden dan transversum. Ia menarik peritoneum di samping kiri dengan pinset, melubanginya dengan gunting, melebarkannya dan mengguntingnya dengan gunting yang samna sepanjang dinding perut. Pantas ia instruktur aerobik, pikirnya sewaktu memperhatikan otot perut yang kuat. Kolon desenden muncul ke daerah operasi. Dengan lembut tangannya menelusuri ke arah bawah dan terlihatlah satu lubang kecil, mengeluarkan feses di sigmoid.
“Kolostomi”. Ia selalui ingat cara teraman yang diajarkan Prof. Ramli dan selalu disitirnya dio setiap kesempatan. Bila kebocoran terjadi di kolon kiri, keluarkan saja usus yang bocor itu.
“Tunggu, “Dokter Mardi memotong. “Masa tidak bisa dijahit?” sambungnya.
“Terlalu riskan.” Keraguan terdengar, ia merasa tidak konsisten. Kolostomi lebih mudah baginya. Tapi melakukan penjahitan kolon, ia biasanya dibantu oleh dr. Sentot, ahli bedah usus muda usia.
“Jahitan dua lapis, puasa lima hari – -?”
“Kalau di kanan, mungkin, tetapi tidak di kiri.”
Usus kiri tempat bertumpuknya feses, terlalu kotor untuk sekedar ditutup saja.
“Coba, Mas — atau bakalan ribut. Hancur nama rumah sakit. “
Diam.
“Kita coba, ” putus dr. Suntoyo. Akal sehatnya kalah. Kasus yang pernah dikerjakannya dulu memang selamat. Ia masih residen waktu itu, Kebocoran terjadi karena ia terlalu bersemangat melepaskan perlengketannya. Sandra berbeda. Kebocorannya karena usus terbakar lima hari yang lalu dan fesesnya sudah memenuhi perut.
Ia tersenyum pahit. Simalakama. Dikerjakan, tanpa Sentot akan mengundang kebvocoran ulang tetapi tidak merusak hubungan baik. Dari pasien kiriman Mardi saja, ia memperoleh kurang dua puluh juta sebulan. Bagi pasien pun, itu hanyalah kolostomi yang tertunda. Apa boleh buat, pikirnya.
Mimpi jelek dr. Sunyoto terjadi. Tiga hari kemudian, perut Sandra gembung dan dari lukanya keluar feses. Ia dipindahkan ke RS Metro dan dibutuhkan waktu lima hari untuk memperbaiki keadaan umumnya sebelum melakukan kolostomi.
Selanjutnya . . .
Genesis
“Baik, Bu. Pamit.” Lepas dari Ibu Wiryo, Ia bernafas lega. Tidak lama. Menelusuri gfang sampai di persimpangan : ke OK atau ngacir ke rumah. Fan, entah dari mana, dua orang co as bedah menyambanginya di depan OK. “Dok, ada consult di aras meja. “
“Obgyn, Dok. Kayaknya usus bocor.”Tak ada lagi acara ngopi di rumah, ia langsung ke OK, ganti baju dan menuju teater 7, Obgyn.
Comments