Wabah Covid-19 memaksa Muslim untuk meninggalkan tradisi Ramadan untuk sementara waktu

Umat Muslim di seluruh dunia memulai bulan puasa pekan ini di tengah-tengah berbagai pembatasan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat wabah COVID-19.

Bagi banyak umat Muslim di Indonesia, bulan Ramadan yang begitu dinanti-nanti bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus dari fajar sampai senja.

Ramadan merupakan sarana untuk tradisi-tradisi komunal seperti salat tarawih di mesjid-mesjid, buka puasa bersama keluarga, teman-teman, dan kolega, sahur bersama (atau sahur on the road) dan itikaf alias menyepi di mesjid.

Namun, wabah COVID-19 telah menjungkirbalikkan gaya hidup umat Muslim di Tanah Air setelah pemerintah menginstruksikan kepada masyarakat untuk tetap tinggal di rumah sebagai strategi utama untuk mengurangi jumlah infeksi baru.

Per Jumat (4/24), Indonesia secara resmi mencatat 8,211 kasus COVID-19 dan 689 kematian.

Setiap malam pada bulan Ramadan, umat Muslim memenuhi mesjid-mesjid di seluruh negeri untuk menjalankan salat tarawih, tetapi kali ini—tepatnya Kamis malam—tidak ada mesjid yang penuh.

Syarafina Marha, 29 tahun, seorang pekerja swasta dari Bekasi,  Jawa Barat, mengaku dia selalu mencoba untuk pulang kerja lebih awal supaya bisa ikut salat tarawih di mesjid dekat rumahnya. Stelah mesjid tersebut terpaksa ditutup, Syarafina merasa galau.

“Saya rasa hal-hal yang paling saya tunggu-tunggu setiap Ramadan adalah salat tarawih [di mesjid] dan salat Idul Fitri berjamaah,” ujar Syarafina kepada The Jakarta Post.

“Sedih rasanya menyadari kalau semua orang kini harus menjalankan ibadah sendiri-sendiri. Nuansa Ramadan menjadi tidak sepenuhnya terasa,” tuturnya.

Sementara bagi Muhammad Ellan dari Tangerang Selatan, Banten, Ramadan kali ini masih bisa terasa spesial mengingat bagi umat Muslim, bulan ini adalah momen terbesar dalam beribadah.

Ellan, 59, menunaikan ibadah salat lima waktu di mesjid dekat rumahnya sebelum tempat ibadah itu ditutup sesuai aturan pemerintah. Namun, Ellan mengaku tetap terbiasa untuk salat di rumah.

“Yang lebih penting adalah mencapai muhasabah [introspeksi],” ucap Ellan.

Kementerian Agama baru-baru ini merilis panduan beribadah selama Ramadan untuk tahun ini. Umat Muslim diinstruksikan untuk menjalankan salat tarawih dan membaca Al-Quran atau tadarus di rumah sekaligus meminta mereka untuk tidak berpartisipasi di acara-acara seperti buka bersama atau sahur bersama. Lebih lanjut,  itikaf atau Nuzulul Quran di mesjid juga ditiadakan.

Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga meminta kepada umat Muslim untuk menahan diri dan tidak berpartisipasi di acara publik apapun. Muhammadiyah turut mempromosikan tagar #RamadandiRumah untuk menyemangati umat Muslim untuk beribadah di rumah.

Mesjid Istiqlal di Jakarta Pusat, mesjid terbesar di Asia Tenggara, yang biasanya menyediakan 5.000 takjil alias kudapan pembuka puasa selama Ramadan, tahun ini juga tidak mengadakan acara apa pun termasuk salat berjamaah.

Juru bicara Mesjid Istiqlal Abu Hurairah mengatakan ini adalah yang pertama kalinya semenjak mesjid tersebut berdiri pada 1978.

Kendati demikian, di tengah-tengah pembatasan sosial yang baru kali ini dilakukan, tidak semua umat Muslim mengikuti perintah tersebut.

Umat Muslim di beberapa daerah dilaporkan tetap menjalankan salat tarawih di mesjid seperti di Aceh. Majelis Ulama Aceh membolehkan umat Muslim untuk tetap salat tarawih berjamaah di mesjid-mesjid, selama mereka tetap tinggal di wilayah yang berhasil membatasi penyebaran COVID-19.

Mesjid-mesjid di Jakarta Selatan, Tangerang Selatan di Banten, Tegal di Jawa Tengah, dan juga Tuban serta Jombang di Jawa Timur juga membolehkan salat Ramadan pada malam hari, menurut pemberitaan lokal.

Dosen dan peneliti UIN Syarif Hidayatullah, Saiful Umam, mengatakan kepercayaan umat Muslim biasanya jatuh ke dalam spektrum argumen teologis mulai dari yang fatalistik—mereka yang percaya takdir itu sudah ditentukan—dan mereka yang percaya bahwa ikhtiar alias usaha adalah yang lebih penting.

Kebanyakan umat Muslim berada di tengah-tengah tetapi lebih cenderung percaya ikhtiar, sehingga mereka lebih mampu untuk menjadi warga taat hukum.

“Tapi masih ada juga yang cenderung mengarah kepada fatalisme,” ujarnya, menambahkan pemerintah harus berhati-hati      dan menghindari perpecahan publik pada pemilu 2019.

Mayoritas umat Muslim di Indonesia membanggakan diri mereka sebagai pengikut Islam moderat di tengah-tengah tren global di mana ekstrem politik dan agama semakin menguat.

Namun, wabah COVID-19 merupakan tes bagi umat Muslim yang taat di Tanah Air. Bagi mereka, iman merupakan sesuatu yang lekat kepada identitas dan budaya nasional.

Hampir 80.000 mesjid dan mushola tersebar di seluruh Indonesia, menurut data Kementerian Agama.

Beberapa mesjid tidak terafiliasi dengan pemerintah ataupun organisasi Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Hal ini mengindikasikan, figur-figur Islam lokal masih mampu memengaruhi komunitas, ujar Saiful.

Saiful menghimbau pemerintah untuk menjalin komunikasi dengan seluruh elemen masyarakat sampai ke level komunitas, sehingga mereka pun dapat meminta umat Muslim untuk menahan diri untuk tidak terlibat dalam acara-acara publik.

(Sumber Berita = https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/24/pandemic-forces-muslims-to-forgo-ramadan-traditions.html )

Comments

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Open chat
Ada yang bisa kami bantu?