Demi God (novel bersambung tentang arogansi manusia) part 3
Ahli bedah adalah Demi god. Titisan dewata ini diutus Penguasa Semesta Alam turun kedunia sebagai penyebab kesembuhan. Bersenjatakan sebilah pisau penyembuh, Topanasuri, ia malang melintang di arena berdarah melawan penyakit, dalam drama yang sudah dimainkan sejak dunia terkembang. Inilah Novel Kedokteran tentang Arogansi sang Demi god bagian ketiga.
GENESIS
Aku akan buktikan Siapa aku sebenarnya-pasti! di balik tirai kepompong ini aku bukanlah ilusi
Aku adalah seekor kupu-kupu bersayap emas Yang siap mengepakkan sayapnya Dan terbang menuju angkasa raya Menebarkan segala keindahan dalam diriku Kelak, satu saat nanti AKU akan membuat semua orang yang meremehkan ku tercengang
Agar mereka tahu . . .agar mereka melihat Siapa diriku sebenarnya . .yang sebenar-benarnya
Aku akan buktikan Bahwa kisah itik buruk rupa yang metamorfosa menjadi angsa Bukanlah dongeng belaka
Angelo Bramantyo
RS Dok 2, Jayapura

Dokter Bobi sudah mengenal istilah malapraktik 25 tahun yang lalu. Kasus itu adalah pasien jaga pertamanya, sejak pindah dari Puskesmas Genyem. Tamat sekolah kedokteran di Padang, ia minta ditempatkan di Irian. Dan sampailah ia di benua keriting itu awal 1975, berdua dengan Opi, istri dan bekas kekasihnya. Ia dityempatkan di Genyem, kecamatan Nimboran, 100 km dari Jayapura. Belum ada jalan darat, mereka menikmati perjalanan dengan Cena. Sayang tidak lama karena baru 10 menit dari Sentani, pesawat empat tempat duduk itu, yang dipiloti oleh veteran perang Korea, menukik tajam dan mendarat. Satu tahun kemudian sesuai dengan kelaziman Irian, ia ditarik ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura.
“Pasien meninggal di depan keluarga,” Dokter Bobi mengakhiri laporan kematian bulanan di RSUD Jayapura. Mempunyai empat spesialis dasar. Bedah Internis, Obgyn, dan Anak, rumah sakit tipe C ini di bangun 1959.
“Ada pertanyaan?” Dokter Lim, Kepala Bagian Bedah membuka sidang pengadilan. Ia berbadan pendek, gemuk dan berkacamata, tamatan Jerman, adaptasi di Bandung dan ujian di Jakarta. Kelak dr. Bobi mengetahui bahwa anaknya yang paling kecil, Heinze 6 tahun tidak bisa ngomong. Gosip yang beredar di Wisma Tabib adalah bingung memilih bahasa yang akan dipakainya. Bahasa Betawi, Indonesia atau Mandarin dari bapaknya, dan Jerman dari ibunya.

“Maaf, baru seksio. Bisakah Dokter Bobi menerangkan singkat kasusnya?” Dokter Salim, Ahli kebidanan, bicara sambil berjalan masuk dan duduk di bangku terdepan.
“Lima menit, ” Dokter Lim memutuskan sambil meletakkan arloji nya di meja dan mengangguk ke Dokter Bobi. Ia tidak begitu senang dengan cara dokter kebidanan, satu-satunya di Irian. Bukankah sudah ada laporan tertulisnya?
“Pasien masuk jam sembilan malam dengan Steven Johnson Syndrome dari UGD dengan catatan untuk dikonsultasikan pada dr. Khatab. Saya dilaporkan jam sepuluh. Waktu datang pasien somnolens dan saya berikan segera kortison serta deladryl, sesuai instruksi Dokter Khatab, ahli penyakit dalam. Tidak lama kemudian Dokter Khatab datang dan pasien meningfgal jam 22:30.”
“Sesuai dengan prosedurnya tapi Kortisonnya iv atau im?” Dokter Khatab bertanya. Ia sudah membaca status dan laporan kematian.
“Iv.” Ia ingat Bruder Aronggear memasukan obat itu langsung ke vena yang lebar di lengan.
“Malapraktik,” desis dr. Kristianto, dokter polisi di RS Tentara Aryoko.
“Tunggu.” Dokter Lim memecah hingar bingar ruang rapat karena kata malapraktik itu. “Siapa yang menyuntikkannya?”
“Saya, ” Dokter Bobi menjawab singkat. Tidak ada manfaatnya memberitahukan bahwa Bruder Aronggear lah yang melakukannya.
Dokter Lim menatapnya heran. Ia sudah dilaporkan bahwa yang menyuntikan bukan dr. Bobi, dan dr. Khatab datang terlambat sesudah pasien meninggal. Anak kecil ini mengambil alih tanggung jawab itu semuanya, pikirnya. Ciri-ciri seorang ahli bedah. “Siapa yang mengirimkannya dari UGD?” tanyanya.
“Saya lupa memperhatikannya, Dok,” Dokter Bobi menjawab.
“Oke, siapa yang jaga malam itu?” tanya Dokter Lim. Ia masih melindungi, pikirnya.
“Saya.” Dokter Leo mengangkat tangan. Ia adalah asisten dr. Salim.
“Nah, bila Dokter Leo yang melakukannyta, apakah iv atau im?
Diam
“Ini kan darurat, Gimana Leo? Dokter Lim terus mendesak.
“Tentu iv biar ceoat.” Terpancing, dr. Leo menjawab.
Para senior yang selalu duduk di depan itu berpandang-pandangan. Mereka tahu bahwa Kortison adalah obat suntik yang tidak larut dalam air sehingga tidak boleh diberikan intra vena. Pemberian langsung ke dalam darah akan menyebabkan gumpalan yang bisa menyumbat aliran darah.
“Terimakasih Leo. Mari kita lanjutkan,” katra Dokter Lim. “Tahukah Dokter Bobi resikonya?” lanjut dr. Khatab.
“Maaf saya baru sadar tadi pagi.” Tidak ada gunanya bohong karena semuanya tercatat dalam status.
“Nah, bila Dokter Bobi mendapat instruksi kortison kelak, apakah yang akan Anda lakukan?” tanya Dokter Lim.
“Tentu akan saya berikan im dan bertanya , bila saya tidak mengerti.”
“Oke, Dokter Bobi sudah mengerti maksud pertemuan ini.” Dokter Lim tersenyum. Ia butuh asisten dan dokter Bobi memenuhi kriterianya. Ia berani mengambil alih tanggung jawab dan mau mengakui kesalahannya secara terbuka. Teknik bisa diajar tapi akhlak dibawa dari rumah.
“Sekarang persoalan yang harus kita putuskan adalah apakah tanpa Kortison, pasien tidak akan meninggal?” lanjutnya.
Diam
“Ataukah apabila Dokter Bobi memberikannya im, pasien tidak akan meninggal?”
Diam
“Ataukah, iv itu penyebab kematian secara langsung. Itu harus dibuktikan tentu.” Dokter Lim melanjutkan.
“Bagaimana?” Tanya Dokter Salim. Ia tersenyum penuh arti.
“Autopsi.” “Itu kan tidak mungkin. Keluarganya pasti menolak tetapi apakah akan kita biarkan saja malapraktik ini tanpa sanksi? Itu tidak mendidik.” Kembali Dokter Salim mencerocos.

“Itu bukan . . .” Dokter Khatab menukas tapi terpotong.
“Tunggu dulu. Seandainya keluarga memberi izin bagaimana?” Dokter Lim meneruskan
“Ya susah dong menemukan trombus atau emboli penyebab kematian.” Dokter Salim terpancing. Ia tidak sadar bahwa ia dipermainkan.
“Nah, sulitkan?” Kemudian Dokter Lim berpaling ke Dokter Khatab, “Apa tadi Dok?”
“Itu pun bukan pula malapraktik.” kata Dokter Khatab. Akhirnya ia bosa membantu dr. Bobi. Ia menyesal tidak datang dengan segera.
“Kenapa?” Dokter Salim masih bersikukuh.
“Asisten Anda setuju dengan iv,” Dokter Lim menjawab sambil tersenyum.
“Tentu dokter Puskesmas tidak bisa dibandingkan dengan seorang obgyn.” Dokter Lim meneruskan. “Oke, supaya tidak diperpanjang, Dokter Bobi bersalah dan harus dihukum karena ketidaktahuannya. Tapi itu bukan malapraktik seperti kata Khatab. Niatnya baik tapi kurang pengalaman. Selain itu, ia jujur dan menyatakan penyesalannya. Begini saja kalau sidang setuju, ia tidak boleh cuti tahunan dan selama di sini, ia menjadi asisten saya.” Dokter Lim mengusulkan jalan tengah.
Semua setuju dan sejak itu Dokter Bobi pindah dari dinas dan memulai hidupnya di kamar bedah.
Dokter Bedah

Ia sendiri heran karena menikmati pekerjaannya. Di Genyem, ia bangun jam 10 dan siangnya main gaple dengan Camat, Danramil dan Kapolsek. Puskesmas yang dipimpinnya adalah bekas rumah sakit Belanda. Semua peralatan lengkap termasuk ronsen, kamar bersalin dan kamar bedah. Dengan penduduk hanya 120 orang, tidak banyak yang perlu dilakukannya. Malaria dan pilek dapat diobati oleh perawat. Ia hanya dipangil bila ada yang kena panah, digigit ular atau persalinan bermasalah. Dikantor dinaspun tak banyak yang dikerjakan. Tenis setiap pagi, gaple siang dan malam bridge sambil MEOK, makan enak omomg kosong, bergilir dari rumah ke rumah orang sesama pendatang.
Bersambung
Di masa itulah tanpa sengaja, ia bertemu dengan dr. Mardi, keluarga Lina. Waktu itu jam 23:10, pangilan datang dari VK di Obgyn karena pasien kiriman bedah, seorangwanita muda mengamuk . . . . . . . ..”Ada apa Bu?
Comments